Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Malik, Asy Syafi'i, Abu Yusuf, Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm dan lainnya berkata, "Qurban
itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik
orang itu berada di kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan
(musafir), maupun dalam mengerjakan haji." (Matdawam, 1984)
Sebagian
mujtahidin -seperti Abu Hanifah, Al Laits, Al Auza'i, dan sebagian
pengikut Imam Malik- mengatakan qurban hukumnya wajib. Tapi pendapat ini
dhaif (lemah) (Matdawam, 1984).
Ukuran "mampu" berqurban, hakikatnya sama dengan ukuran kemampuan shadaqah, yaitu mempunyai kelebihan harta (uang) setelah terpenuhinya kebutuhan pokok (al hajat al asasiyah) -yaitu sandang, pangan, dan papan-- dan kebutuhan penyempurna (al hajat al kamaliyah)
yang lazim bagi seseorang. Jika seseorang masih membutuhkan uang untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dia terbebas dari
menjalankan sunnah qurban (Al Jabari, 1994)
Dasar kesunnahan qurban antara lain, firman Allah SWT :
- "Maka dirikan (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah." (TQS Al Kautsar : 2)
- "Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah." (HR. At Tirmidzi)
- "Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW) qurban dan ia tidak wajib atas kalian." (HR. Ad Daruquthni)
Dua hadits di atas merupakan qarinah (indikasi/petunjuk) bahwa qurban adalah sunnah. Firman Allah SWT yang berbunyi "wanhar" (dan berqurbanlah kamu) dalam surat Al Kautas ayat 2 adalah tuntutan untuk melakukan qurban (thalabul fi'li). Sedang hadits At Tirmidzi, "umirtu bi an nahri wa huwa sunnatun lakum" (aku diperintahkan untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad Daruquthni "kutiba ‘alayya an nahru wa laysa biwaajibin ‘alaykum" (telah diwajibkan atasku qurban dan ia tidak wajib atas kalian); merupakan qarinah bahwa thalabul fi'li yang ada tidak bersifat jazim (keharusan), tetapi bersifat ghairu jazim
(bukan keharusan). Jadi, qurban itu sunnah, tidak wajib. Namun benar,
qurban adalah wajib atas Nabi SAW, dan itu adalah salah satu khususiyat beliau (lihat Rifa'i et.al., Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, hal. 422).
Orang yang mampu berqurban tapi tidak berqurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi SAW :
"Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami."
(HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, dari Abu Hurairah RA. Menurut
Imam Al Hakim, hadits ini shahih. Lihat Subulus Salam IV/91)
Perkataan Nabi "fa laa yaqrabanna musholaanaa" (janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami) adalah suatu celaan (dzamm),
yaitu tidak layaknya seseorang -yang tak berqurban padahal mampu--
untuk mendekati tempat sholat Idul Adh-ha. Namun ini bukan celaan yang
sangat/berat (dzamm syanii') seperti halnya predikat fahisyah (keji), atau min ‘amalisy syaithan (termasuk perbuatan syetan), atau miitatan jaahiliyatan
(mati jahiliyah) dan sebagainya. Lagi pula meninggalkan sholat Idul
Adh-ha tidaklah berdosa, sebab hukumnya sunnah, tidak wajib. Maka,
celaan tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram (lihat ‘Atha` ibn
Khalil, Taysir Al Wushul Ila Al Ushul, hal. 24; Al Jabari, 1994).
Namun hukum qurban dapat menjadi wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab memenuhi nadzar adalah wajib sesuai hadits Nabi SAW :
"Barangsiapa yang bernadzar untuk ketaatan (bukan maksiat) kepada Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya." (lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/157).
Qurban juga menjadi wajib, jika seseorang (ketika membeli kambing, misalnya) berkata, "Ini milik Allah," atau "Ini binatang qurban." (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994).
0 komentar:
Posting Komentar