Blogger templates

Pages

Senin, 19 November 2012

Cerpen_Ketika Hati Harus Memilih

Ketika Hati Harus Memilih

Bel istirahat berbunyi, terlihat para murid sedang antri membeli es untuk melegakan dahaganya. Banyak juga siswi yang sedang mengibat-ngibatkan kipasnya. Seorang murid laki-laki, manis, berkulit sawo matang, dan cukup tinggi duduk melamun di kursi memanjang pinggir lapangan. Bandi namanya, seorang siswa kelas 2 SMA dari SMA Kasih.
“Dooorr” teriak Fandu sambil menepuk pundak Bandi dengan cukup keras
“Ah.. elu,Fan! Ngagetin gue aja”
“Ngapain lu sendirian disini?”
“Nungguin elu, Sob”
“Sorry Sob, tadi ada jam tambahan sebentar. Ke kantin yukh”
“Okey”
Bandi dan Fandu  memang sudah bersahabat sejak masuk SMA, waktu kelas X mereka satu kelas, tapi setelah naik ke kelas XI mereka terpisah. Tapi itu tidak mengurangi keakraban mereka ataupun menghancurkan kisah persahabatn mereka.

“Fan..Fan, liat tuh. Cakep banget”  kata Bandi sambil nunjuk seseorang
“Yang mana?”
“Itu loh, yang tinggi, putih, manis, dan rambutnya panjang”
“Oh.. itu, iya sih. Boleh juga lah”
“Elu tau namanya ngga?”
“Kayanya sih namanya Dita, murid IX IPA 2”
“Hemmm...”
Satu minggu berlalu, Bandi mencari informasi tentang Dita tanpa sepengetahuan dari sahabatnya, Fandu. Bel pulang sekolah terdengar.
“Haaiii” sapa Bandi pada Dita yang sedang duduk sendirian di depan sekolah
“Eh.. Haii”
“Kamu kenal aku nggak?”
“Nggak, kamu siapa ya?”
“Kenalin, aku Bandi. Kamu Dita kan?”
“Iya”
“Lagi ngapain disini? Kok belum pulang?”
“Lagi nunggu jemputan nih, kamu sendiri kenapa belum pulang?”
“Masih nunggu temen, kayanya sih ada jam tambahan”
“Oh..”
“Boleh duduk sini ngga?”
“Silahkan”
Bandi dan Dita ngobrol. Menceritakan beberapa pengalaman masing masing, sampai akhirnya Bandi memberanikan diri untuk mengajak bicara tentang hal yang lebih khusus tentang Dita.
“Hem.. Aku boleh minta nomor HandPhone kamu nggak?” tanya Badu ragu
“Boleh, bentar yah aku tulis dulu”
“Okey”
“Ini nomor HandPhone aku”
“Makasih yah”
“Iya sama-sama. Eh, jemputan aku udah dateng tuh, aku pulang dulu yah”
“Iya, Titi DJ”
“Maksudnya?”
“Hati-hati di jalan”
“Okey, Bye.. see you next time”
Dita pulang meninggalkan Bandi sendirian. Bandi yang suka benget sama Dita senyum-senyum sendiri dapat nomor handphone Dita. Sampai dia nggak sadar kalau sahabatnya yang tampan, mancung, dan Cool udah dateng.
“Bandi, udah lama?” tanya Fandu
“Nggak, baru bentar kok. Sekitar setengah jam”
“huh.. Elu!! Sorry yah. Gila tadi jam tambahan mbosenin banget. Gurunya ngomong terus. Iya kalo ngomongnya jelas, udah nggak jelas, kurang keras, ngomongnya cepet banget lagi. Bikin pusing deh”
“Udah-udah, nggak baik ngomongin guru gitu”
“Iya juga sih, yaudah yukh pulang”
Bandi dan Fandu pulang bereng, jarak antara rumah mereka memang jauh, tapi jika dari sekolah, ya rumah mereka searah lah. Sepulang sekolah, Bandi langsung melepaskan sepatunya dan merebahkan badannya yang bau keringat itu di kasur yang empuk. Bandi mengambil Handphone nya dan langsung sms Dita. Keakraban Bandi dan Dita terus berkembang sejak hari itu. Satu minggu berlalu, dua minggu terlampau, satu bulan sudah terlewati. Kedekatan bandi dan dita semakin menjadi, sampai akhirnya mereka jadian tanpa ada orang yang tahu.
“Bandi” teriak Fandu saat melihat Bandi sedang duduk di teras
“Iya, sini mampir”
“Oke”
“Mau kemana?”
“Nggak kemana-mana sih. Pengin jalan-jalan aja. Eh, Elu masih ingat Dita?”
“Ingat dong, kenapa emangnya?”
“Kemarin, gue kan disuruh Pak. Ahmad ngambil daftar nilai di kantor, terus gue nggak sengaja nabrak Dita yang lagi bawa buku. Bukunya jatuh berantakan, terus gue bantuin dia mberesin buku, lalu gue tolongin dia bawain bukunya. Busyet.. dia cantik banget, suaranya merdu, rambutnya indah, senyumnya juga manis banget. Kayanya gue suka deh sama dia”

Pernyataan Fandu membuat Bandi keget. Dia diam seribu bahasa, tak merespond ucapan Fandu. Hatinya terasa tertusuk duri saat mendengar cerita Fandu. Tapi dia mencoba menyembunyikannya dalam senyum palsunya.
“Kok elu diem?” tanya Fandu
“Oh, kalo Elu suka, kenapa nggak Elu tembak aja?” ujar Bandi dengan senyum palsunya
“Iya, Gue masih butuh waktu. Gue belum siap kalau sekarang. Do’ain gue yah”
“Iya pasti Sob. Kalau elu seneng gue juga ikut seneng”
“Thanks yah, elu emang sahabat terbaik gue. Yaudah, gue pulang dulu yah”
“Iya, hati-hati Sob”
Pernyataan Fandu tadi masih melayang-layang difikiran Bandi. Bandi tak tahu bagaimana cara menjelaskan ke Fandu kalau dita sudah menjadi pacarnya. Dia tak tega menghancurkan hati sahabatnya yang sedang berbunga-bunga.
Esoknya di sekolah, seperti biasa Bandi dan Fandu pergi ke kantin bareng, lalu duduk di kursi memanjang pinggir lapangan.
“Bandi, elu mau nggak bantuin gue?”
“Bantuin apa?”
“Tolong dong, kasihin ini ke Dita” ujar Fandu sambil menyodorkan kado kecil
“Kenapa nggak elu kasihin sendiri aja?”
“Gue malu,Ban!”
“Ah, Elu !! iya deh, nanti gue kasihin”
Bandi masih menyembunyikan kesedihannya dalam senyum palsunya. Sebenarnya dia ingin berkata jujur pada Fandu, tapi dia masih menunggu sampai dirinya siap untuk mengatakannya pada fandu.
Seperti biasa, sepulang sekolah Dita duduk di depan sekolah
“Sendirian aja,Neng” sapa Bandi
“Iya nih, Bang” jawab Dita
“Mau ditemenin nggak, Neng?”
“Boleh juga, Bang”
Mereka berdua tertawa kecil. Mereka berdua berbasa-basi, laluBandi mengambil kado yang dititipkan oleh Fandu dari dalam tasnya.
“Ini untuk kamu”
“Makasih sayang, baik banget deh” jawab Dita senang
“Ini dari temen aku, bukan aku”
“Temen kamu? Siapa?” tanya Dita pelan
“Fandu” jawab Bandi lirih
Raut muka Dita yang awalnya ceria menjadi cemberut. Senyumnya menghilang, Mereka terdiam. Sampai akhirnya Dita harus pulang duluan karena jemputannya udah datang. Tak lama Fandu menghampiri Bandi yang lagi duduk sendiri
“Bandi, gimana? Udah dikasihin?” tanya Fandu penasaran
“Udah, tenang aja”
“yaudah pulang yukh, Hem.. makasih yah”
“Iya sama-sama”
Hari-hari selanjutnya Bandi lebih sering menitipkan kado buat Dita. Sebenarnya hati Bandi terasa berat, tapi dia nggak enak sama Sahabat Sejatinya. Niatnya Bandi mau berkata jujur, tapi melihat cinta Fandu yang begitu besar pada Dita, dia jadi tak tega mematahkan hati Fandu.
Minggu pagi, Fandu main ke rumah Bandi
“Assalamualaikum”
“Waalaikum Salam. Eh Fandu, masuk Fan!”
“Iya, makasih”
“Ada apa ni, Fan?”
“Nggak ada apa-apa, Ban. Cuma pengin main aja”
“Oh.. gimana? Elu masih suka sama Dita?”
“Banget”
“Kenapa nggak elu tembak aja?”
“Iya, nanti kalo gue udah siap. Bantuin gue dong”
“Bantuin apa lagi?”
“Jomblangin gue sama Dita”
“Hah? Iya deh gue usahain”
Permintaan Fandu benar-benar membuat hati Bandi semakin sakit. Dia tak tahu harus memilih siapa. Apa Bandi harus menceritakan kepada Fandu kalau Dita adalah pacarnya? Tapi Bandi tak ingin menghancurkan hati sahabatnya. Apa dia harus menolong Fandu agar bisa jadian sama Dita? Tapi Bandi masih sangat mencintai Dita. Bandi benar-benar tertekan oleh masalah ini. Sahabat atau Pacar yang harus dia pilih.
Esoknya, pulang sekolah Bandi menemui Dita
“Dita, aku mau ngomong sama kamu”
“Ngomong apa?”
“sebenarnya ini berat banget buat aku, aku tak tahu harus gimana lagi. Aku minta sama kamu, tolong kamu jadi pacarnya Fandu yah”
“kenapa begitu? Aku kan cintanya sama kamu”
“iya, aku juga cinta banget sama kamu, tapi aku nggak mau mematahkan hati sahabatku”
“Oh.. jadi buat kamu, Fandu lebih penting daripada aku? Gitu?”
“Bukannya gitu, kalian berdua itu penting bagi aku. Kamu pacar aku, dan Fandu sahabatku. Kamu nggak ngrasain aja, gimana perihnya hati aku saat Fandu bilang kalau dia Cinta sama kamu. Kamu nggak ngrasain betapa berat hati aku ketika harus memilih diantara kalian. Tolong yah, ngertiin posisi aku”
“Aku benci sama kamu”
Dita pergi meninggalkan Bandi. Sakit hati yang dirasakan Bandi sangatlah pedih. Matanya berkaca-kaca. Hampir saja air matanya keluar tapi dia menahannya. Dia tetap mencoba sabar dan tegar.
Sejak itu, hubungan Bandi dan Dita berakhir. Dita sangat membenci Bandi. Ketika bertemu, mereka tak saling menyapa. Saat berjumpa, mereka dia saja. Sudah tak ada lagi komunikasi. Rasa cinta kini berubah menjadi kecewa. Dita memandang Bandi dengan penuh kebencian. Bandi hanya pasrah, perlahan dia mencoba untuk melupakan masa lalunya.
Satu minggu berlalu, sepulang sekolahterlihat Fandu dan Dita sedang asik mengobrol di depan sekolah.
“Hai Dita”
“Hai Fandu”
“lagi ngapain sendirian?”
“lagi nunggu jemputan. Oh iya, makasih ya kado-kadonya”
“Iya sama-sama”
.............
.............
.............
Lagi asik ngobrol, Bandi datang
“Fandu, gue mau pulang”
“Iya tungguin, aku pulang dulu ya, Dita”
“Iya, hati-hati” jawab Dita
Kebencian Dita kepada Bandi semakin besar. Dia melihat Bandi sebagai seorang musuh.
Pada malam minggu, Fandu mengajak Dita jalan-jalan. Tapi Fandu tak pergi sendirian, dia mengajak Bandi.
“Bandi, pokoknya elu harus ikut!”
“Ah.. males ah”
“Nggak ada males-malesan, elu harus ada diperistiwa penting bagi gue malam ini”
“Maksud  lu?”
“Malam ini gue mau nembak Dita.”
“Hah?”
“Udah ikut cepet”
“Iya.. iyaa”
Fandu dan Bandi pergi ke taman. Dita belum keliatan, akhirnya Bandi dan Fandu ngobrol terlebih dahulu. Tak lama kemudian Dita datang.melihat keakraban mereka, Dita jadi marah. Tapi dia coba sembuyikan kekesalan itu. Fandu duduk disebelah Dita dan Bandi duduk disebelah Fandu
“Dita, ada yang mau aku ungkapin”
“Ungkapin apa?”
“Sebenarnya aku cinta sama kamu, kamu mau nggak jadi pacar aku?”
“Hem... mau, tapi ada syaratnya”
“Apa?” jawab Fandu bersemangat
“Kamu harus njauhin Bandi, sanggup?”
Fandu dan Bandi kaget mendengarnya. Hati kecil Bandi merasa takut ditinggalkan sahabatnya karena dia tahu kalau Fandu sangat mencintai Dita. Fandu terdiam. Suasana senang menjadi tegang. Lalu Fandu mulai bicara
“Maaf Dita, aku nggak bisa.”
“Kenapa? Kalu begitu aku tak mau jadi pacarkamu” kat Dita, lalu pergi
“Kenapa kamu nggak terima syaratnya? Kamu kan cinta banget sama dia” tanya Bandi
“Iya memang, aku cinta banget sama dia, aku suka banget sama dia, aku juga inginkan dia, tapi aku lebih butuh kamu. Aku lebih rela kehilangan cinta daripada harus kehilangan sahabat sepertimu. Kamu tenang aja, aku nggak bakal ninggalin kamu. Aku bisa jalani hidup tanpa cinta Dita, tapi aku nggak akan sanggup jalani hidup tanpa perhatian dan kasih sayang yang tulus dari seorang sahabat sejati”
“Makasih ya, Fan”
“Iya sama-sama, ayo pulang”
“Ayo”
Sejak kejadian itu, persahabatan mereka jadi semakin akrab. Mereka saling berjanji akan slalu bersama dan saling terbuka. Banyak orang yang bisa hidup tanpa CINTA, tapi tak banyak orang yang bisa hidup tanpa SAHABAT





----------------------------------------------- END -------------------------------------------------








Nama    : Muhamad Bais Ridwan
Kelas     : 9 Immersi B
No                   : 18

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About