Ketika Hati Harus Memilih
Bel istirahat berbunyi, terlihat para murid sedang antri membeli es untuk
melegakan dahaganya. Banyak juga siswi yang sedang mengibat-ngibatkan kipasnya.
Seorang murid laki-laki, manis, berkulit sawo matang, dan cukup tinggi duduk
melamun di kursi memanjang pinggir lapangan. Bandi namanya, seorang siswa kelas
2 SMA dari SMA Kasih.
“Dooorr” teriak Fandu sambil menepuk pundak Bandi dengan cukup keras
“Ah.. elu,Fan! Ngagetin gue aja”
“Ngapain lu sendirian disini?”
“Nungguin elu, Sob”
“Sorry Sob, tadi ada jam tambahan sebentar. Ke kantin yukh”
“Okey”
Bandi dan Fandu memang sudah
bersahabat sejak masuk SMA, waktu kelas X mereka satu kelas, tapi setelah naik
ke kelas XI mereka terpisah. Tapi itu tidak mengurangi keakraban mereka ataupun
menghancurkan kisah persahabatn mereka.
“Fan..Fan, liat tuh. Cakep banget”
kata Bandi sambil nunjuk seseorang
“Yang mana?”
“Itu loh, yang tinggi, putih, manis, dan rambutnya panjang”
“Oh.. itu, iya sih. Boleh juga lah”
“Elu tau namanya ngga?”
“Kayanya sih namanya Dita, murid IX IPA 2”
“Hemmm...”
Satu minggu berlalu, Bandi mencari informasi tentang Dita tanpa
sepengetahuan dari sahabatnya, Fandu. Bel pulang sekolah terdengar.
“Haaiii” sapa Bandi pada Dita yang sedang duduk sendirian di depan
sekolah
“Eh.. Haii”
“Kamu kenal aku nggak?”
“Nggak, kamu siapa ya?”
“Kenalin, aku Bandi. Kamu Dita kan?”
“Iya”
“Lagi ngapain disini? Kok belum pulang?”
“Lagi nunggu jemputan nih, kamu sendiri kenapa belum pulang?”
“Masih nunggu temen, kayanya sih ada jam tambahan”
“Oh..”
“Boleh duduk sini ngga?”
“Silahkan”
Bandi dan Dita ngobrol. Menceritakan beberapa pengalaman masing masing,
sampai akhirnya Bandi memberanikan diri untuk mengajak bicara tentang hal yang
lebih khusus tentang Dita.
“Hem.. Aku boleh minta nomor HandPhone kamu nggak?” tanya Badu ragu
“Boleh, bentar yah aku tulis dulu”
“Okey”
“Ini nomor HandPhone aku”
“Makasih yah”
“Iya sama-sama. Eh, jemputan aku udah dateng tuh, aku pulang dulu yah”
“Iya, Titi DJ”
“Maksudnya?”
“Hati-hati di jalan”
“Okey, Bye.. see you next time”
Dita pulang meninggalkan Bandi sendirian. Bandi yang suka benget sama
Dita senyum-senyum sendiri dapat nomor handphone Dita. Sampai dia nggak sadar
kalau sahabatnya yang tampan, mancung, dan Cool udah dateng.
“Bandi, udah lama?” tanya Fandu
“Nggak, baru bentar kok. Sekitar setengah jam”
“huh.. Elu!! Sorry yah. Gila tadi
jam tambahan mbosenin banget. Gurunya ngomong terus. Iya kalo ngomongnya jelas,
udah nggak jelas, kurang keras, ngomongnya cepet banget lagi. Bikin pusing deh”
“Udah-udah, nggak baik ngomongin guru gitu”
“Iya juga sih, yaudah yukh pulang”
Bandi dan Fandu pulang bereng, jarak antara rumah mereka memang jauh,
tapi jika dari sekolah, ya rumah mereka searah lah. Sepulang sekolah, Bandi
langsung melepaskan sepatunya dan merebahkan badannya yang bau keringat itu di
kasur yang empuk. Bandi mengambil Handphone nya dan langsung sms Dita.
Keakraban Bandi dan Dita terus berkembang sejak hari itu. Satu minggu berlalu,
dua minggu terlampau, satu bulan sudah terlewati. Kedekatan bandi dan dita semakin
menjadi, sampai akhirnya mereka jadian tanpa ada orang yang tahu.
“Bandi” teriak Fandu saat melihat Bandi sedang duduk di teras
“Iya, sini mampir”
“Oke”
“Mau kemana?”
“Nggak kemana-mana sih. Pengin jalan-jalan aja. Eh, Elu masih ingat
Dita?”
“Ingat dong, kenapa emangnya?”
“Kemarin, gue kan disuruh Pak.
Ahmad ngambil daftar nilai di kantor, terus gue nggak sengaja nabrak Dita yang
lagi bawa buku. Bukunya jatuh berantakan, terus gue bantuin dia mberesin buku,
lalu gue tolongin dia bawain bukunya. Busyet.. dia cantik banget, suaranya
merdu, rambutnya indah, senyumnya juga manis banget. Kayanya gue suka deh sama
dia”
Pernyataan Fandu membuat Bandi keget. Dia diam seribu bahasa, tak
merespond ucapan Fandu. Hatinya terasa tertusuk duri saat mendengar cerita
Fandu. Tapi dia mencoba menyembunyikannya dalam senyum palsunya.
“Kok elu diem?” tanya Fandu
“Oh, kalo Elu suka, kenapa nggak
Elu tembak aja?” ujar Bandi dengan senyum palsunya
“Iya, Gue masih butuh waktu. Gue
belum siap kalau sekarang. Do’ain gue yah”
“Iya pasti Sob. Kalau elu seneng gue juga ikut seneng”
“Thanks yah, elu emang sahabat terbaik gue. Yaudah, gue pulang dulu yah”
“Iya, hati-hati Sob”
Pernyataan Fandu tadi masih melayang-layang difikiran Bandi. Bandi tak
tahu bagaimana cara menjelaskan ke Fandu kalau dita sudah menjadi pacarnya. Dia
tak tega menghancurkan hati sahabatnya yang sedang berbunga-bunga.
Esoknya di sekolah, seperti biasa Bandi dan Fandu pergi ke kantin bareng,
lalu duduk di kursi memanjang pinggir lapangan.
“Bandi, elu mau nggak bantuin gue?”
“Bantuin apa?”
“Tolong dong, kasihin ini ke Dita” ujar Fandu sambil menyodorkan kado
kecil
“Kenapa nggak elu kasihin sendiri aja?”
“Gue malu,Ban!”
“Ah, Elu !! iya deh, nanti gue kasihin”
Bandi masih menyembunyikan kesedihannya dalam senyum palsunya. Sebenarnya
dia ingin berkata jujur pada Fandu, tapi dia masih menunggu sampai dirinya siap
untuk mengatakannya pada fandu.
Seperti biasa, sepulang sekolah Dita duduk di depan sekolah
“Sendirian aja,Neng” sapa Bandi
“Iya nih, Bang” jawab Dita
“Mau ditemenin nggak, Neng?”
“Boleh juga, Bang”
Mereka berdua tertawa kecil. Mereka berdua berbasa-basi, laluBandi
mengambil kado yang dititipkan oleh Fandu dari dalam tasnya.
“Ini untuk kamu”
“Makasih sayang, baik banget deh” jawab Dita senang
“Ini dari temen aku, bukan aku”
“Temen kamu? Siapa?” tanya Dita pelan
“Fandu” jawab Bandi lirih
Raut muka Dita yang awalnya ceria menjadi cemberut. Senyumnya menghilang,
Mereka terdiam. Sampai akhirnya Dita harus pulang duluan karena jemputannya
udah datang. Tak lama Fandu menghampiri Bandi yang lagi duduk sendiri
“Bandi, gimana? Udah dikasihin?” tanya Fandu penasaran
“Udah, tenang aja”
“yaudah pulang yukh, Hem.. makasih yah”
“Iya sama-sama”
Hari-hari selanjutnya Bandi lebih sering menitipkan kado buat Dita.
Sebenarnya hati Bandi terasa berat, tapi dia nggak enak sama Sahabat Sejatinya.
Niatnya Bandi mau berkata jujur, tapi melihat cinta Fandu yang begitu besar
pada Dita, dia jadi tak tega mematahkan hati Fandu.
Minggu pagi, Fandu main ke rumah Bandi
“Assalamualaikum”
“Waalaikum Salam. Eh Fandu, masuk Fan!”
“Iya, makasih”
“Ada apa ni, Fan?”
“Nggak ada apa-apa, Ban. Cuma pengin main aja”
“Oh.. gimana? Elu masih suka sama Dita?”
“Banget”
“Kenapa nggak elu tembak aja?”
“Iya, nanti kalo gue udah siap. Bantuin gue dong”
“Bantuin apa lagi?”
“Jomblangin gue sama Dita”
“Hah? Iya deh gue usahain”
Permintaan Fandu benar-benar membuat hati Bandi semakin sakit. Dia tak
tahu harus memilih siapa. Apa Bandi harus menceritakan kepada Fandu kalau Dita
adalah pacarnya? Tapi Bandi tak ingin menghancurkan hati sahabatnya. Apa dia
harus menolong Fandu agar bisa jadian sama Dita? Tapi Bandi masih sangat
mencintai Dita. Bandi benar-benar tertekan oleh masalah ini. Sahabat atau Pacar
yang harus dia pilih.
Esoknya, pulang sekolah Bandi menemui Dita
“Dita, aku mau ngomong sama kamu”
“Ngomong apa?”
“sebenarnya
ini berat banget buat aku, aku tak tahu harus gimana lagi. Aku minta sama kamu,
tolong kamu jadi pacarnya Fandu yah”
“kenapa begitu? Aku kan cintanya sama kamu”
“iya, aku
juga cinta banget sama kamu, tapi aku nggak mau mematahkan hati sahabatku”
“Oh.. jadi buat kamu, Fandu lebih penting daripada aku? Gitu?”
“Bukannya
gitu, kalian berdua itu penting bagi aku. Kamu pacar aku, dan Fandu sahabatku.
Kamu nggak ngrasain aja, gimana perihnya hati aku saat Fandu bilang kalau dia
Cinta sama kamu. Kamu nggak ngrasain betapa berat hati aku ketika harus memilih
diantara kalian. Tolong yah, ngertiin posisi aku”
“Aku benci sama kamu”
Dita pergi meninggalkan Bandi. Sakit hati yang dirasakan Bandi sangatlah
pedih. Matanya berkaca-kaca. Hampir saja air matanya keluar tapi dia
menahannya. Dia tetap mencoba sabar dan tegar.
Sejak itu, hubungan Bandi dan Dita berakhir. Dita sangat membenci Bandi.
Ketika bertemu, mereka tak saling menyapa. Saat berjumpa, mereka dia saja.
Sudah tak ada lagi komunikasi. Rasa cinta kini berubah menjadi kecewa. Dita
memandang Bandi dengan penuh kebencian. Bandi hanya pasrah, perlahan dia
mencoba untuk melupakan masa lalunya.
Satu minggu berlalu, sepulang sekolahterlihat Fandu dan Dita sedang asik
mengobrol di depan sekolah.
“Hai Dita”
“Hai Fandu”
“lagi ngapain sendirian?”
“lagi nunggu jemputan. Oh iya, makasih ya kado-kadonya”
“Iya sama-sama”
.............
.............
.............
Lagi asik ngobrol, Bandi datang
“Fandu, gue mau pulang”
“Iya tungguin, aku pulang dulu ya, Dita”
“Iya, hati-hati” jawab Dita
Kebencian Dita kepada Bandi semakin besar. Dia melihat Bandi sebagai
seorang musuh.
Pada malam minggu, Fandu mengajak Dita jalan-jalan. Tapi Fandu tak pergi
sendirian, dia mengajak Bandi.
“Bandi, pokoknya elu harus ikut!”
“Ah.. males ah”
“Nggak ada
males-malesan, elu harus ada diperistiwa penting bagi gue malam ini”
“Maksud lu?”
“Malam ini
gue mau nembak Dita.”
“Hah?”
“Udah ikut
cepet”
“Iya..
iyaa”
Fandu dan
Bandi pergi ke taman. Dita belum keliatan, akhirnya Bandi dan Fandu ngobrol
terlebih dahulu. Tak lama kemudian Dita datang.melihat keakraban mereka, Dita
jadi marah. Tapi dia coba sembuyikan kekesalan itu. Fandu duduk disebelah Dita
dan Bandi duduk disebelah Fandu
“Dita, ada
yang mau aku ungkapin”
“Ungkapin
apa?”
“Sebenarnya
aku cinta sama kamu, kamu mau nggak jadi pacar aku?”
“Hem...
mau, tapi ada syaratnya”
“Apa?”
jawab Fandu bersemangat
“Kamu harus
njauhin Bandi, sanggup?”
Fandu dan Bandi kaget mendengarnya. Hati kecil Bandi merasa takut
ditinggalkan sahabatnya karena dia tahu kalau Fandu sangat mencintai Dita.
Fandu terdiam. Suasana senang menjadi tegang. Lalu Fandu mulai bicara
“Maaf Dita,
aku nggak bisa.”
“Kenapa?
Kalu begitu aku tak mau jadi pacarkamu” kat Dita, lalu pergi
“Kenapa
kamu nggak terima syaratnya? Kamu kan cinta banget sama dia” tanya Bandi
“Iya
memang, aku cinta banget sama dia, aku suka banget sama dia, aku juga inginkan
dia, tapi aku lebih butuh kamu. Aku lebih rela kehilangan cinta daripada harus
kehilangan sahabat sepertimu. Kamu tenang aja, aku nggak bakal ninggalin kamu.
Aku bisa jalani hidup tanpa cinta Dita, tapi aku nggak akan sanggup jalani
hidup tanpa perhatian dan kasih sayang yang tulus dari seorang sahabat sejati”
“Makasih
ya, Fan”
“Iya
sama-sama, ayo pulang”
“Ayo”
Sejak
kejadian itu, persahabatan mereka jadi semakin akrab. Mereka saling berjanji
akan slalu bersama dan saling terbuka. Banyak orang yang bisa hidup tanpa
CINTA, tapi tak banyak orang yang bisa hidup tanpa SAHABAT
----------------------------------------------- END
-------------------------------------------------
Nama : Muhamad Bais Ridwan
Kelas : 9 Immersi B
No : 18
0 komentar:
Posting Komentar